Fenomena Citayem Fashion Week dalam Konteks Moderasi Beragama

Media Dakwah39 Views

Oleh: Abdul Muhaimin, M.Si

Jagad dunia maya dan dunia nyata hari ini diramaikan dengan viralnya Citayem Fashion Week di kawasan SCBD. Jeje dan Bonge menjadi sorotan publik.

Mengapa Citayem Fashion Week menjadi sangat fenomenal? Tentu ada banyak jawaban yang dapat menjelaskan fenomena ini. Saya mencoba mengaitkannya dalam konteks moderasi beragama di era revolusi industri 4.0

Saya melihat peristiwa ini sebagai fenomena budaya. Kreativitas anak-anak muda putus sekolah yang kemudian berhasil menciptakan tren baru di kalangan millenial. Kreativitas dalam arti menghasilkan karya baru yang bisa diterima oleh komunitas tertentu dan diakui. Dalam batasan definisi ini, apa yang dilakukan Bonge adalah hal yang positif dan perlu difasilitasi oleh para pemangku kepentingan.

Namun di lain pihak, ada komunitas lain, sebut saja “pria melambai” yang sedang mencari panggung mempromosikan LGBT. Oleh karenanya, komunitas hedon yang sekada cari cuan dengan mendompleng popularitas, lalu mempertontonkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai etik dunia Timur perlu dikoreksi dan diluruskan.

Sebagai fenomena budaya, hal semacam ini terjadi di hampir segala lini kehidupan. Dapat dengan mudah; misalnya ada wanita berhijab berjoged alay di tik-tok, ada juga seorang mubaligh menyampaikan pesan-pesan agama sambil menghisap linting daun tembakau. Ini terjadi karena sebagian masyarakat tidak menyukai sikap beragama yang fanatik. Ingin tampil kekinian tanpa melupakan identitas beragama. Lalu viral kemudian karena didukung teknologi sosial media

Apakah fenomena Citayem Fashion Week semakin menguatkan anggapan bahwa agama dan (kehidupan) dunia adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan? Atau ini merupakan fenomena biasa yang akan bergeser, ikut berubah terdisrupsi dalam berbagai bentuk lain? Perubahan cepat yang terus bergulir lantaran imbas industri 4.0, tidak hanya menyentuh bidang teknologi saja, melainkan juga bidang lainnya seperti politik, ekonomi hingga sosial.

Jauh sebelumnya, fenomena semacam ini sudah ada sebagai dampak dari globalisasi budaya lewat jaringan-jaringan informasi yang tersedia.

M. Kamal Hasan dalam tulisannya the expending spiritual moral role of world religious in the new millenium yang diterbitkan American Journal of Islamic Social Science menuliskan “The advent of the new millennium brings with new challenges of the negative aspects of globalization and environmental crises which, if unchecked, would put the whole planet earth in peril

Kemudian dia melanjutkan tulisannya “…Religions which preach the goals of peace, justice, holistic, wellbeing and rightteous living have to address the above issues while they continue to oppose social injustices, oppression, corruption, abuse of power, greed, materialism, racism, sexism, hedonism and nihilism”

Philip Kotler, Hermawan Kartajaya dan Hooi Den Huan dalam pengantar bukunya marketing for competitiveness mengatakan “Asia adalah wilayah dengan jumlah penduduk paling padat, mencapai 60% populasi dunia. Populasi anak muda, perkembangan kelas menengah, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di semua negara di wilayah itu membuatnya menjadi pasar yang sangat menguntungkan”

Siapa yang akan leading dalam kontestasi beragam kepentingan di atas panggung Citayem Fashion Week? Di tengah keragaman masyarakat Indonesia, apakah moderasi beragama dapat menjadi solusi dalam menjawab tantangan era disrupsi 4.0 karena setiap kali terjadi pola perubahan industri, gaya hidup manusia akan ikut berubah sebagai imbasnya.

Salam perubahan…

The post Fenomena Citayem Fashion Week dalam Konteks Moderasi Beragama appeared first on Media Dakwah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *